Minggu, 12 Januari 2020

Kelak-kelok Kurikulum di Indonesia



Kurikulum pendidikan di Indonesia sering berubah seiring dengan pergantian menteri pendidikan Republik Indonesia. Hal tersebut seharusnya tidak mempengaruhi kurikulum yang ada. Perbaikan itu perlu tapi apa perlu ada pergantian? Di masa pemerintahan Jokowi-JK, kurikulum pendidikan kembali ke KTSP. Hal tersebut sangat disayangkan, karena pergantian kembali ke KTSP sama halnya dengan kemunduran. Mengapa? Karena di negara-negara maju telah menggunakan kurikulum serupa kurikulum 2013.
Dewasa ini yang terjadi bukan sekedar perbaikan tetapi pergantian. Pergantian apabila semua hal yang menyangkut hajat orang banyak tersebut sudah matang tidak akan menimbulkan banyak masalah. Masalahnya disini kurikulum yang baru menetas tersebut langsung diterapkan di seluruh sekolah di tanah air. Sekolah yang menggunakan kurikulum 2013 tahap pertama tahun ajaran 2013/2014 sebanyak 6.326 sekolah pada siswa kelas 1 dan 4 SD, VII SMP, serta IX SMA/SMK. Tahap kedua tahun ajaran 2014/2015, kurtilas diterapkan di kelas 1-5 SD, VII-VIII SMP, serta X-XI SMA/SMK. Masa percobaan kurikulum tersebut pun hanya sebentar, siswa yang awal masuk SMA menggunakan kurikulum 2013 belum sampai mereka lulus kurikulum sudah berganti menjadi KTSP lagi. Dan kini sudah menggunakan kurikulum 2013 lagi. Hal ini memunculkan stigma masyarakat tentang keseriusan pemerintah memerhatikan pendidikan generasi muda. Para calon guru pun kebingungan ketika mereka belajar, di pendidikan tinggi mereka belajar kurikulum 2013 lalu saat mereka siap terjun ke sekolah, kurikulum yang berlaku tidak sesuai dengan apa yang mereka pelajari. Tentu ini akan menimbulkan keterlambatan bagi kemajuan pendidikan.
Kurikulum 2013 memang masih baru seumur jagung, tetapi bukankah perbaikan akan selalu dibutuhkan untuk menyesuaikan perkembangan zaman? Kurikulum 2013 memang membutuhkan penanganan yang khusus dibanding KTSP, misalnya pihak sekolah perlu mendatangkan media-media pembelajaran yang memadai demi menunjang terlaksananya pembelajaran berbasis kurikulum 2013. Para guru wajib mengikuti pelatihan demi memahami alur kerja kurikulum 2013 agar mampu menjalankan kurikulum 2013 dengan baik. Kemudian para siswa pun perlu dibimbing guru dengan baik agar mampu mengikuti pembelajaran menggunakan kurikulum 2013. Pemerintah pun perlu mengevaluasi kinerja pelaksanaan kurikulum 2013, yang baik dipertahanan dan yang tidak baik diperbaiki menjadi baik. Sebenarnya pembelajaran tidak perlu kembali menggunakan KTSP, jika dapat menangani permasalahan yang terjadi secara bijak. Justru dengan tetap menggunakan kurikulum 2013, orang-orang yang berada di lapangan akan lebih memahami dan mampu beradaptasi dengan baik ketika kurikulum 2013 nantinya benar-benar digunakan.
Tahun pelajaran 2018/2019, pemerintah berharap menjadi tahun terakhir pelatihan dan pendampingan kurikulum 2013 agar kurikulum 2013 dapat segera digunakan di Indonesia secara menyeluruh.  
     Plt. Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Hamid Muhammad mengatakan, saat ini terdapat sekitar 78.000 sekolah yang memasuki tahap akhir implementasi Kurikulum 2013. “Tahun ini adalah tahun terakhir pelatihan dan pendampingan Kurikulum 2013. Tahun ini semua sekolah harus menggunakan Kurikulum 2013 tanpa kecuali,” kata Hamid dalam pernyataan tertulis, Sabtu (30/6/2018). (Kompas.com/Kurniasih Budi/30-6-2018).
Artinya pemerintah saat ini benar-benar serius ingin merubah pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik. Namun apakah ini akan berjalan seperti yang diharapkan. Akankah kebingungan dan keterombang-ambingan akan segera menemui pegangan?
Kita pun hanya bisa mengawasi kinerja pemerintah karena sekali lagi kurikulum yang belum matang seharusnya tidak langsung diterapkan di sekolah, mengingat kita belum tahu dampak apa yang akan terjadi di kemudian hari. Hal tersebut bisa berdampak pada apa saja, tergantung pada masalah apa yang dihadapi anak, sekolah, masyarakat, maupun pemerintah berwenang. Alangkah baiknya pemerintah beserta jajarannya tetap mengkaji ulang terlebih dahulu sampai kurikulum tersebut benar-benar sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi di lapangan dan senantiasa melakukan evaluasi serta perbaikan berkala.

Sabtu, 11 Januari 2020

Liputan Khusus



Antara Perut dan Fashion di Kalangan Mahasiswa





Kebutuhan sebagai mahasiswa sangat banyak. Khususnya mahasiswa rantau yang nge-kost memang dituntut untuk pintar-pintar mengelola keuangan. Berhemat menjadi pilihan untuk anak kos. Seperti yang dilakukan oleh Mbak Annisa Mahasiswa UMS  yang berasal dari Ponorogo dengan jatah perbulan 800rb, memilih berhemat untuk dapat mencukupi kebutuhan hidup di Solo.
            Salah satunya dengan sesekali mengkonsumsi makanan instan. Makanan instan yang paling Ia sukai adalah mie instan dan oatmeal. Akan tetapi Ia lebih sering mengkonsumsi oatmeal dibandingkan dengan mie instan. Mie instan yang Ia konsumsi dalam seminggu hanya satu bungkus. Alasan Ia memilih mie instan adalah praktis atau mudah dibuat dan harganya yang terjangkau untuk kalangan mahasiswa. Dengan adanya mie instan itu menurutnya memberi kemudahan disaat yang genting karena tidak perlu untuk keluar kost membeli makanan di warung.
         Faktor lain mendorongnya berhemat dengan mengkonsumsi mie instan adalah gaya hidup. Ia berhemat untuk memenuhi kebutuhan skincare. Karena harganya yang memang tidak ramah di kantong mahasiswa. itulah mengapa Ia mengatur keuangannya sedemikian rupa.
          Terlalu banyak mengkonsumsi mie instan memang tidak baik. Biasanya berakibat buruk bagi pencernaan. Berbeda dengan yang dialami mbak Annisa, yaitu timbul jerawat setelah mengkonsumsi mie instan yang berlebih. Untuk mengatasi hal tersebut Ia mengimbanginya dengan mengkonsumsi buah dan sayuran yang sehat.
Semakin maju kecanggihan teknologi, semakin berpengaruh pula pada perkembangan zaman. Zaman sekarang ini, kita dituntut untuk melakukan apapun serba cepat. Termasuk perkara perut, sebagai seorang mahasiswa mbak Rita kadang lebih memilih makan makanan instan agar tidak membuang-buang waktu. Dia pernah sampai dirawat dua kali karena setiap hari sarapan mie instan. "Pernah sampai rawat inap karena infeksi di usus, pernah obat jalan juga", lanjut mbak Rita.
Meskipun sekarang sudah agak berkurang porsinya, namun ia masih mengonsumsi makanan instan tiga sampai empat kali seminggu. Makanan instan yang ia konsumsi pun tidak hanya mie instan tetapi juga sosis dan nugget.
"Untuk membeli tas dll. Tapi akhir2 ini saya lebih sering menghemat untuk ongkos main dan modal usaha", tutur mbak Rita ketika ditanya alasannya tetap mengonsumsi makanan instan meskipun pernah dirawat. Usaha yang sedang dirintisnya saat ini yakni distributor masker wajah.
Memang tak dapat dipungkiri, tempat mbak Rita mengenyam bangku kuliah tergolong universitas swasta yang didominasi mahasiswa menengah keatas. Mau tidak mau harus mengikuti trend yang sedang in berbekal uang saku 800rb-1juta per bulan. Beginilah kreativitas mahasiswa dipertaruhkan.
Makanan merupakan kebutuhan pokok manusia dengan asupan makanan yang kita dapat menghasilkan energi yang dapat menunjang kegiatan kita sehari-hari, pada era milenial sekarang ini masyarakat dominan memilih fast food (siap saji) karena dirasa lebih praktis dan cepat apalagi didukung dengan adanya aplikasi gofood yang menambah masyarakat luas lebih mencintai fast food.
Khususnya mahasiswa yang kebanyakan adalah perantau yang jauh dari keluarga, mereka lebih memilih fast food untuk dikonsumsi sehari-hari, mulai dari makanan ringan hingga makanan yang termasuk dalam makanan utama. Mengkonsumsi makanan tersebut untuk menunjang aktivitas perkuliahannya dan kegiatan-kegiatan lainnya. Hal yang  praktis dan cepat seperti mengonsumsi mie instan atau junk food menjadi pilihan mereka. Banyaknya kegiatan yang dilakukan mengakibatkan para mahasiswa malas untuk sekedar memasak atau menyiapkan makanan mereka sendiri.



Mengkonsumsi fast food menjadi candu bagi para mahasiswa seperti halnya salah satu mahasiswa yang bernama Karina dari program studi Manajemen yang sekarang menempuh semester 7. Ia mengaku bahwa sangat sering mengkonsumsinya dari mulai sarapan hingga makan malam. Dalam sehari ia bisa mengkonsumsi makanan fast food, apalagi dia sangat menggemari jajanan pinggir jalan seperti cimol,cilok,bakso, serta makanan ringan lainnya yang hampir setiap hari di konsumsi. Belum lagi kalau ia pergi ke mall mungkin “saya lebih boros, karena saya suka jajan dan mencoba berbagai makanan yang belum pernah saya makan”, tutur Karina. 
Karina mengatakan bahwa ia lebih mementingkan isi perutnya ketimbang uangnya harus disisihkan untuk sekedar menunjang penampilannya yang banyak dilakukan oleh para mahasiswa, dimana lebih mementingkan penampilan atau fashion dibandingkan hal lainnya, “kalau sekedar fashion mah aku nomer sekian yang penting makan dulu sih, karna aku juga kalau misal telat makan langsung ngerasa pusing dan gak enak badan”, terangnya.
Mahasiswa terkenal dengan kehidupan yang lumayan hedonisme tidak jarang mahasiswa melakukan hal-hal negative untuk memperoleh apa yang ia inginkan “aku mah nggak yang terlalu memikirkan hal-hal yang seperti itu”, tandas Karina. “Emang bener sih aku kuliah di lingkungan yang anak-anaknya notabene menengah keatas apalagi anak kampus 2 sangat terkenal dengan fashionnya tapi aku nggak terlalu peduli sihh, kan aku anak rantau jauh dari orang tua, orang tua ada di Sumatra dan sebisa mungkin aku ngejaga dirilah kiriman dari orang tua juga cukup kok untuk kehidupanku sehari hari di Solo”, lanjutnya. 
Pengeluaran Karina bisa antara 20-35ribu untuk makan sehari. “Tapi kalau makan di mall bisa sekitar sehari itu 30-60rb,” terangnya. “Untuk kesehatan aku sendiri alhamdullilahnya belum pernah sampe sakit parah gitu kayak tipes atau yang lainnya biasanya demam aja sih, semoga kedepannya nggak deh sampe lulus”, tutup Karina.

Liputan Umum



Sehat di Kantong, Merana di Badan





Di saat-saat kritis, mi instan menjadi penyelamat dari kelaparan. Harganya yang murah dan rasanya yang enak menjadikan mi instan makanan favorit, bukan hanya di Indonesia tapi seluruh dunia. Selain itu durasi masaknya juga hanya kurang dari 3 menit sehingga memudahkan para siswa, pekerja, bahkan orang tua tidak merasa ribet saat menyiapkannya.

Indonesia merupakan negara yang memiliki sejumlah merk mi instan dengan rasa yang lezat. Bahkan, dikutip dari baceratus yang mengatakan bahwa salah satu brand mi instan dalam negeri berhasil diekspor ke berbagai negara. Tak hanya sekadar ekspor, mi instan dari Indonesia berhasil mendapat respon positif dari konsumen di negara lain.

Banyak merek mi instan dalam negeri yang sudah sangat familiar di kalangan semua usia, seperti indomie yang mempunyai jargon “indomie, seleraku!” ini sudah sangat menjadi idola masyarakat indonesia. Selanjutnya ada mie sedap yang menjadi khas bawang goreng renyah, supermi, sarimi, dan masih banyak lainnya. Meski demikian, makan mi instan tanpa disadari memiliki resiko yang mengancam kesehatan. Meskipun ada beberapa mitos seperti menambahkan sayuran ke dalam mi instan untuk menambahkan nilai gizi, namun hal tersebut tidak terbukti.

Banyak sudah ditemukan beberapa masalah akibat mengonsumsi mi instan yang sering ditemukan seperti dapat menyebabkan asma, diare karena pada dasarnya mi instan sulit dicerna.

Hasil studi yang dipublikasikan dalam journal of Nutrition menyebutkan, wanita yang mengonsumsi mie instan dua kali atau lebih dalam seminggu dapat mudah terkena sindrom metabolik.

Dilansir dalam doktersehat.com keseringan makan mie instan dapat mengganggu kesehatan seperti: Berisiko kanker, kerusakan jaringan otak, keguguran, gangguan metabolisme, kerusakan organ,  obesitas, dan maag akut yang pernah dialami alm. dr. Ryan Thamrin.

Artikel itu juga menyebutkan resep memasak mie yang sehat dengan menambah edamame yang penuh protein, sayur bayam dan jagung, ramuan pengganti saus seperti peterseli, kemangi, daun bawang sebagai aroma.